ISTIFTA’ DAN IFTA’
Makalah Ini
Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Ushul Fiqh II
Dosen Pengampu : Dr. H. Sholikul Hadi, M. Ag
Disusun Oleh :
1. Ahmad
Abdul Aziz ( 112423)
2. Ima
Nofiyanti (112425)
3. Auni
Afifah (112426)
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH /
PAI
2014
A. Latar Belakang Masalah
Pada masa awal perkembangan Islam, Rasulullah SAW.
telah menghadapi berbagai persoalan-persoalan baru yang menyangkut
urusan-urusan keagamaan dan keduniaan, terutama di kalangan bangsa Arab Makkah.
Bersamaan dengan itu, Allah menurunkan wahyu sebagai tanda kemukjizatan
Rasulullah SAW sebagai penutup para
Nabi.
Makna hal terpenting dari wahyu tersebut adalah
Rasulullah SAW mengeluarkan fatwa-fatwa sebagai petunjuk, pedoman dan
panduan bagi umat Islam dalam memberikan penjelasan, jawaban dan alternatif
terhadap persoalan-persoalan yang mencakupi isu-isu akidah, sosial, ekonomi,
adat, budaya, politik dan lain-lain. Dengan demikian, kehidupan terus berjalan di
bawah ajaran (hukum-hukum ) dan bimbingan agama Allah.
Umat Islam kerap dihadapkan pada kegamangan, setiap
kali perubahan zaman terjadi. Tak heran jika selalu muncul pertanyaan, apakah
perubahan itu sesuai dengan syariat Islam?Guna menjawab kegamangan itu, umat
membutuhkan sebuah fatwa dari para ulama. Fatwa ibarat setetes air di saat
dahaga. Fatwa dari sosok alim dianggap menjadi jawaban yang memberikan jaminan
ketenangan dan keyakinan, terutama jika ditinjau dari aspek syariatnya. Selanjutnya,
kita akan membahas beberapa definisi tentang fatwa atau yang sering disebut
dengan ifta’ dan apa saja yang terkait dengan fatwa.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan
Masalah dalam makalah ini pada dasarnya problem yang bersumber dari latar
belakang masalah. Adapun rumusan permasalahan sebagai berikut :
1.
Apa pengertian Istifta’?
2.
Apa pengertian Ifta’?
3.
Apa saja Syarat-syarat dan kewajiban
Mufti?
4.
Bagaimana kedudukan ifta’?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini pada dasarnya adalah menjawab sejumlah
rumusan masalah adapun manfaat penulisan makalah :
1.
Agar
pembaca dapat menjelaskan pengertian
Istifta’ dan Ifta’.
2.
Agar
pembaca dapat mengetahui tentang syarat-syarat dan kewajiban mufti.
3.
Agar
pembaca mengetahui bagaimana kedudukan ifta’.
D. Pembahasan
v
Pengertian Istifta’
Istifta atau Al-fatwa secara etimologi
(bahasa) ialah: [1]
الجَوَابُ عَمَّايُسْكِلُ مِنَ اْلأُمُرِ
Artinya : menyelesaikan setiap problem
Di dalam kitab An-nihabah di katakan:
يُقَالُ : أَفْتَاهُ فِى اْلمَسْأَ لَةِ فَيُفْتِيَهُ
اِذَااَجَابِهِ
Artinya: misalnya memfatwakan satu masalah (artinya)
ia telah memberi fatwa kalau ia telah menjawab pertanyaan itu.”
Dan di dalam kitab Al-Misbah di sebutkan:
اَلْفَتْوَاى بِل وَاوِبِفَتْحِ الفَاءِ اَعَمُّ مِن
اَفْتَى العَالِمُ اِذَا بَيَّنَ الحُكْمَ
Artinya : kata fatwa dengan imbuhan wau dan fa yang di
fatahkan bermakna seorang alim memberi fatwa kalau ia menyelesaikan masalah
tentang hukum.”
Sedang Istifta secara terminologi (istilah)
adalah:[2]
اَلْاِخْبَارُ عَنْ حُكْمِ الله تعلى بِمُقْتَضَى
الاَدِلَّةِ الشَّر عِيَّةِ عَلَى جِهَةِ العُمُمِ والشُّمُول
Artinya : fatwa adalah menyampaikan hukum-hukum Allah
berdasarkan dalil-dalil syariah yang mencakup segala persoalan.
Istifta hukumnya fardhu kifayah kalau
ada orang lain yang bisa memberi fatwa selain dirinya. Adapun kalau tidak ada
orang lain yang bisa memberi fatwa dan masalah yang di fatwakan itu cukup
mendesak, maka ia pun berkewajiban memberi fatwa atas peristiwa itu. Orang yang
pertama menjabat mufti (pemberi fatwa) di dalam islam ialah Rasulullah SAW.
Beliau memberi fatwa terhadap segala permasalahan yang
timbul atau terjadi berdasarkan wahyu dari Allah SWT. Yang di turunkan
kepadanya.
Rasul di dalam memberi fatwa berdasarkan firman Allah
QS. An-Nisa’59 :
يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر
منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر
ذلك خير وأحسن تأويلا
Artinya
: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikianitu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
v
Pengertian ifta’
Ifta’ berasal dari kata afta yang
artinya memberikan penjelasan.[3] Secara
definisi memang sangat sulit merumuskan
arti ifta’ atau fatwa itu. Namun dapat di pahami bahwa ifta’
adalah usaha memberikan penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya
kepada orang yang belum mengetahuinya.
Sedangkan ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
1)
Ia adalah usaha memberikan penjelasan.
2)
Penjelasan yang di berikan itu adalah tentang hukum syara’ yang
di peroleh melalui hasil ijtihad.
3)
Orang yang memberikan penjelasan itu adalah orang yang ahli dalam bidang
yang di jelaskan itu.
4)
Penjelasan itu di berikan kepada orang yang bertanya yang belum mengetahui
hukumnya.
v
Syarat dan Kewajiban
Mufti
Sedangkan Mufti ialah pemberi Fatwa. Namun, mufti tidak mengeluarkan
fatwanya kecuali apabila diminta dan persoalan yang diajukan kepadanya adalah
persoalan yang bisa dijawabnya sesuai dengan pengetahuannya. Oleh sebab itu,
mufti dalam menghadapi suatu persoalan hukum harus benar-benar mengetahui
secara rinci kasus yang dipertanyakan, mempertimbangkan kemaslahatan peminta
fatwa, lingkungan yang mengitarinya, serta tujuan yang ingin dicapai dari fatwa
tersebut.
Ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh akibat dari suatu fatwa lebih berat
dari fatwa itu sendiri. Adapun orang yang pertama menjabat mufti di dalam islam
ialah Rasulullah SAW. Beliau memberi fatwa terhadap segala permasalahan yang
timbul atau terjadi berdasarkan wahyu dari Allah yang diturunkan kepadanya.
Syarat dan kewajiban mufti Dalam kitab Faroidu As-Saniyyah Syarat sebagai Mufti
ialah :
1.
Mengetahui ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum
2.
Mengetahui Hadits yang berhubungan dengan hukum
3.
Mengetahui Kaidah-kaidah fiqih
4.
Mengetahui Cabang-cabang ilmu fiqih
5.
Mengetahui Perselisihan Madzhab
6.
Mengetahui Madzhab yang sudah ditetapkan
7.
Mengetahui Ilmu Nahwu dan Shorof
8.
Mengetahui Ilmu Bahasa
9.
Mengetahui Ilmu Ushul
10. Mengetahui Ilmu Ma’ani
11. Mengetahui Ilmu Bayan
12. Mengetahui Ilmu Tafsir
13. Mengetahui Tingkah-tingkah rowi (Periwayat Hadits)
14. Mengetahui Ketetapan dan Perselisihan
15. Mengetahui Nasikh Mansukh
16. Mengetahui Asbabun Nuzul[4]
Menurut
pendapat Imam Ahmad bahwa yang menjadi mufti hanyalah yang mempunyai lima
perkara, yaitu :
1.
Mempunyai niat dalam memberi fatwa,
yakni mencari keridloan Allah semata. Karenanya jangan memberi fatwa untuk
mencari kekayaan ataupun kemegahan, atau karena takut kepada penguasa.
2.
Hendaknya dia mempunyai ilmu,
ketenangan , kewibawaan, dan dapat menahan kemarahan. Ilmu sangat diperlukan
dalam member fatwa. Orang yang memberi fatwa tanpa ilmu berarti mencari siksa
Allah.
3.
Hendaknya mufti itu benar-benar
orang yang menguasai Ilmunya, bukan seseorang yang lemah ilmu.
4.
Hendaknya seorang mufti memiliki
kecukupan dalam bidang material bukan seseorang yang memerlukan bantuan orang
lain untuk penegak hidupnya.
5.
Hendaknya mufti memiliki ilmu
kemasyarakatan. Apabila tidak mengetahui keadaan masyarakat, kemungkinan mufti
tersebut menimbulkan kerusakan dengan fatwa-fatwanya.[5]
Dan kewajiban seorang Mufti :
1.
Tidak memberikan fatwa dalam keadaan sangat marah, atau sangat ketakutan,
karena sangat gundah, atau dalam keadaan pikiran bimbang karena suatu
hal. Karena semua itu menghilangkan ketelitian dan keimbangan.
2.
Hendaklah dia merasakan sangat berhajat kepada pertolongan Allah dan
hendaklah dia memohon pertolongan Allah agar menunjukinya dalam jalan yang
benar dan membukakan baginya jalan yang harus ditempuh.
3.
Berdaya upaya menetapkan hukum dengan yang di ridhoi Allah dan selalu ingat
bahwa dia harus memutuskan hukum dengan apa yang Allah turunkan, serta dilarang
mengikuti hawa nafsu.
4.
Kedudukan Ifta’ (fatwa)
Kedudukan fatwa, sebagaimana ditegaskan oleh An-Nawawi
dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, sangat krusial dan mempunyai
keistimewaan. Faktor otoritas ulama sebagai mufti dan pewaris para nabi lebih
memengaruhi kedudukan tersebut. Disebutkan didalam
kitab Al-Majmu’ tersebut “kalian harus mengerti bahwa fatwa/berfatwa
itu adalah satu perkara yang sangat berat dan besar bahayanya, tetapi ia
mempunyai faedah yang besar pula karena orang yang berfatwa itu bukan sembarang
orang melainkan adalah pewaris para nabi yang secara fardlu kifayah harus
melaksanakan urusan itu.
Imam Asy-Syatibi menyatakan bahwa mufti adalah
penyambung lidah para Nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW. Untuk menyampaikan
perkara-perkara agama kepada umat di bumi ini.
بَلِّغُواعَنِّى وَلَوْ ايَةً
Artinya : Hendaklah engkau menyampaikan kepada mereka dariku
sekalipun hanya satu ayat.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Ibnu Abidin menjelaskan bahwa orang fasik tidak boleh
diangkat menjadi mufti mengingat urusan fatwa adalah urusan agama.
Sedangkan orang fasik tidak boleh diterima keputusan-keputusannya tentang
agama. Fasik ialah orang yang tidak mau ta’at atau melanggar
ketetapan-ketetapan agama. Mereka yang dikenal fasik dengan sendirinya tak
memiliki otoritas mengeluarkan fatwa. Menurut sejumlah kalangan, bahkan mereka
yang terkenal fasik haram mengeluarkan fatwa. Kriteria seperti ini tampaknya
menjadi bukti kuat akan bobot fatwa yang dikeluarkan.[6]
E.
Kesimpulan
Istifta atau merupakan menyelesaikan setiap masalah atau problem
atau menyampaikan huukum-hukum Allah bedasarkan dalil-dalil syariah yang
mencakup segala persoalan. Ifta’ berasal dari kata afta yang
artinya memberikan penjelasan. Secara definitif memang sangat sulit
merumuskan arti ifta’ atau fatwa itu.
Namun dapat di pahami bahwa ifta’adalah usaha memberikan penjelasan
tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum
mengetahuinya. Mufti ialah pemberi Fatwa.
Namun, mufti tidak mengeluarkan fatwanya kecuali apabila diminta dan
persoalan yang diajukan kepadanya adalah persoalan yang bisa dijawabnya sesuai
dengan pengetahuannya.
DAFTAR PUSTAKA
Jumantoro,
Totok. Kamus Ilmu Ushul Fiqih. AMZAH: jakarta. 2005
Muhammad Sya’roni
Ahmadi, Al faroidu As Saniyyah, (kudus, 2006)
Umam, Khairul dkk. Ushul Fiqih II. Pustaka Setia: Bandung. 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar